Notification

×

Iklan

Iklan

Wartawan dan Berita Rekayasa

Senin, Februari 17, 2020 | Februari 17, 2020 WIB Last Updated 2021-10-20T04:16:11Z

Stephen Glass adalah seorang wartawan surat kabar The New Republik, media paling berpengaruh kala itu di negeri Paman Sam. Di sana, menjadi seorang wartawan tidak lah mudah, meski honor kecil dengan intensitas kerja yang tinggi. Tapi, profesi wartawan dianggap sebagai pekerjaan yang keren.

Menjadi wartawan The New Republik jadi impian banyak remaja saat itu, namun tidak mudah untuk bisa menjadi bagiannya. Barangkali, Stephen Glass menjadi orang yang beruntung bisa menjadi bagian media besar itu.

Sebuah berita, sampai bisa naik cetak di The New Republik melalui proses yang ketat, tahapan pertama editing, kedua editing, kemudian cek fakta dan naik lagi ke bagian hukum, untuk ditelaah dan dikaji tulisannya dari sisi hukum, baru kemudian ke tahap cetak.

Stephen Glass adalah wartawan yang cerdik, sebuah tulisan rata-rata gagal ketika naik di tahapan cek fakta dan hukum. Di tahap itu, bagian cek fakta menelaah tulisan juga dengan melakukan perbandingan dengan literatur lain—termasuk di tahap hukum.

Stephen Glass mengakalinya dengan menulis berita yang sama sekali tidak ada di literatur. Jadi, satu-satunya literatur hanya tulisannya yang dijadikan rujukan. Sehingga, tulisannya selalu lolos sampai ke tahap cetak dan terbit.

Michael Kelly saat masih menjadi editor The New Republik sebelum posisinya digeser oleh Chuck Lane adalah tipikal editor yang membela wartawannya. Stephen Glass hampir ketahuan bahwa tulisannya hasil rekayasa, saat dia menulis artikel Spring Breakdown dan diprotes pihak hotel.

Michael Kelly yang terlalu keras membela wartawannya, sehingga dia harus dipecat dan posisinya diganti Chuck Lane, sosok yang tegas dan tidak humoris. Naiknya Chuck Lane ke posisi editor menjadi akhir perjalanan karir seorang Stephen Glass.

Saat itu, Stephen Glass menulis berita dengan judul Hack Heaven yang menceritakan perkumpulan hacker dan diketuai oleh seorang anak muda yang masih umur belum 17 tahun. Sebuah perusahaan Juct Micronics yang bergerak di bidang elektronik terletak di Nevada tertarik dengan anak muda ini dan menemuinya.

Ceritanya konyol. Tapi, membuat Adam Petersberg, seorang wartawan dari Forbes Digital harus mendapat dampratan dari Pimpinan Redaksinya lantaran tidak bisa mendapatkan berita yang sama. Adam penasaran dengan cerita di tulisannya, dia kemudian menelusuri di mesin pencarian internet, rupanya tidak ada yang namanya perusahaan Juct Micronics, Adam lantas mengeceknya ke Perpajakan dan Pencatatan Perusahaan, hasilnya nihil.

Rasa penasaran Adam Petersberg menjadi pintu terbukanya kedok Stephen Glass selama ini, dia telah mengarang berita, menulis berita rekayasa demi karirnya. Padahal, hoax sangat bertolak belakang dengan produk jurnalistik. Akibatnya, Chuck Lane memecatnya.

Cerita perjalanan Stephen Glass berbeda dengan Jay Bahadur, seorang pemuda yang baru saja lulus kuliah jurusan jurnalistik dan ingin sekali menjadi seorang wartawan. Tapi, lamarannya selalu mendapat penokalan dari semua kantor media massa.

Saat itu, melamar menjadi wartawan, kantor media mengharuskan pelamar menyertakan karya, sebuah karya menjadi penilaian kantor media menerimanya atau tidak.

Jay Bahadur mengidolakan seorang wartawan bernama Putlizer. Singkat cerita, Jay tidak sengaja bertemu dengannya di sebuah toko, dia sempat berbincang-bincang dengan Pulitzer cukup lama. “Tulislah sebuah tulisan yang belum pernah ditulis oleh wartawan manapun,” demikian pesan Pulitzer pada Jay.

Jay selalu terngiang-ngiang dengan pesan Pulitzer, dia merasa bingung harus menulis tentang apa yang belum pernah ditulis sebelumnya, hingga suatu ketika seorang temannya menceritakan Somalia, sebuah negara yang sedang berperang—intinya tidak aman. Kata temannya, belum pernah ada wartawan yang datang ke sana, pernah ada namun belum sempat menuliskan beritanya keburu tewas.

Jay kemudian pulang dan menyiapkan baju-bajunya ke dalam koper, kepada orang tuanya dia bercerita bahwa sudah diterima sebagai wartawan dan mendapat tugas dikirim ke daerah tertentu. Orang tuanya memberi uang untuk perjalanannya, tanpa pikir panjang Jay pun berangkat ke Somalia, bukan sebagai wartawan tapi pura-pura menjadi wartawan.

Selama di Somalia, Jay banyak mendapat rintangan bahkan nyawanya hampir saja melayang. Demi dapat mewawancara, dia rela membeli ganja sebagai syarat untuk bertemu ketua pemberontak, di Somalia saat itu terdapat tiga kelompak pemberontak. Dan, bekal serta uang Jay habis hanya untuk membeli ganja.

Somalia selama ini oleh PBB dianggap sebagai negara yang paling berbahaya. Namun, sejak hasil liputan Jay naik ke sebuah media, pandangan dunia terhadap Somalia berubah. Sepulangnya dari Somalia, Jay banyak mendapatkan surat dari kantor media, memohon kepadanya agar bersedia bergabung menjadi wartawannya. Selain itu, Jay juga dianggap sebagai orang yang tepat untuk PBB guna menyelesaikan persoalan di Somalia.

Sekarang, media kata Rusdi Mathari sudah seperti pabrik tahu—banyak sekali. Namun, hanya sekian yang kredibel dan benar-benar menyajikan produk jurnalistik secara utuh, mengutamakan kroscek daripada kecepatan. Padahal, mengutip pesan seorang tokoh pergerakan Marco Kartodikromo “Soerat Kabar Itoe Soeatoe Sendjata Jang Paling Tadjam”. Tapi, di dunia modern ini, kepercayaan publik terhadap karya jurnalistik seolah terus menurun. Tapi, yakinlah bahwa tidak semua wartawan berwatak seperti Stephen Glass, masih banyak wartawan yang masih tetap menjaga idealismenya sebagaimana Jay Bahadur.
×
Berita Terbaru Update