Sejak akhir tahun 2022, tepatnya bulan November, muncul SK pengangkatan Pendamping Desa untuk setingkat Pendamping Lokal Desa (PLD). Nama saya ada dalam SK tersebut, sejak itu aktif di pemberdayaan, mendampingi tiga desa sekaligus, diantaranya Desa Tegalwangi, Gunungsari dan Gadingrejo. Lokasinya tidak jauh dari rumah, hanya beda kecamatan, tepatnya Kecamatan Umbulsari. Setahun bertugas di sana, keluar SK baru, akhirnya saya dipindahkan ke kecamatan sendiri, Kecamatan Balung dengan mendampingi empat desa, diantaranya Desa Gumelar, Balunglor, Tutul dan Balung Kulon.
Meski disebut Tenaga Pendamping Profesional (TPP). Tapi, saya belum yakin bahwa pendamping ini profesional sebab proses perekrutan cenderung politis meski banyak juga yang memang benar-benar profesional dan lama mondar mandir di pemberdayaan. Kenapa politis? Sebab dulunya Menteri Desa berasal dari Partai PKB sehingga yang bisa menjadi pendamping desa hanya mereka yang punya koneksi ke partai tersebut. Setelah Pilpres 2024, peta politik berubah, Prabowo terpilih sebagai presiden, Menteri Desa pun berubah, tidak lagi dipegang oleh PKB melainkan PAN. Sejak itu pendamping desa mulai was was, khawatir tiba-tiba keluar SK baru dan namanya hilang. Makanya, banyak sahabat dan teman yang berusaha mencari koneksi ke PAN dan Gerindra yang menjabat Wamen untuk mengamankan posisi.
Berselang beberapa bulan Mendes Yandri menjabat dan waktunya pendamping memperpanjang kontrak, dalam dokumen perpanjangan kontrak, ada beberapa point baru tiba-tiba muncul, bahwasanya Pendamping Desa menyatakan bukan ASN, pengurus Parpol dan tidak pernah menjadi Calon Legislatif serta tidak dobel job. Setelah memperpanjang kontrak, tidak berselang lama pendamping yang pernah Nyaleg di PHK. Jumlahnya ribuan se Indonesia, di Kabupaten Jember, ada sekitar 4 orang yang di PHK. Dari sini muncul gejolak, Mendes didemo oleh pendamping yang di PHK sepihak, tidak bergeming didemo, mereka menggugat ke PTUN, sampai hari ini entah bagaimana putusannya.
Hari ini, giliran yang dobeljob didepak, tiba-tiba mendapat undangan klarifikasi, tidak hanya saya, ada 20 orang lebih yang dipanggil, semua diberi pilihan, melanjutkan atau berhenti, bila melanjutkan maka harus menghapus nama yang ada di pangkalan PDDIKTI bila sebagai dosen, menon aktifkan NUPTK bila seorang guru dan lain sebagainya. Sialnya, untuk menghapus data tersebut hanya diberi waktu beberapa hari padahal proses untuk menghapusnya membutuhkan waktu cukup lama. Dari sini jelas, diduga ada niatan untuk mendepaknya. Apalagi, ada penjelasan bila meski melanjutkan dan menon aktifkan data tidak menjamin tetap lanjut, Kemendes bisa saja tetap memberhentikan.
Saya pribadi, meski tidak menerima honor dari negara atas tercantumnya nama di PDDIKTI, setelah melalui proses diskusi dengan keluarga dan istikhoroh, akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkan sebagai pendamping daripada terus menerus berada dalam posisi dilema saat pergantian pucuk pimpinan Kemendes setelah Pilpres. Banyak sahabat dan teman yang mempertanyakan bagaimana nasib ke depannya, sebagai petani tidak pernah khawatir atas rizeki tuhan, sudah terbiasa dengan kondisi apapun dan selalu siap apapun konsekuensinya.
Dilema yang dihadapi pendamping tidak seharusnya dirasakan setiap momen pergantian Mendes, ke depan pemerintah harus menjamin nasib pendamping agar tidak selalu terombang ambing sebagaimana Pendamping PKH, Penyuluh Agama yang sudah lebih dulu diangkat P3K. Posisi pendamping desa yang hanya tenaga kontrak dan kabarnya melalui mekanisne pengadaan, menjadi rawan korban kesewenang wenangan dan mudah sekali dijadikan alat politik untuk pemenangan ketika momentum pemilu, diancam akan diberhentikan bila tidak memenangkan calon tertentu rawan terjadi. Oleh karena itu, menjamin posisi pendamping menjadi keharusan dan PR bagi pemerintah ke depan.
Meski saya telah memilih, semoga sahabat dan teman yang masih di pendamping desa tetap bisa bertahan dan bekerja sebagaimana mestinya.
Penulis: Robith Fahmi