Notification

×

Iklan

Iklan

Kilas Balik Perempuan dalam Perpolitikan Nusantara

Minggu, Maret 17, 2024 | Maret 17, 2024 WIB Last Updated 2024-03-16T18:15:07Z



Sebelum reformasi belum ada ketentuan pemenuhan kuota perempuan dalam kancah perpolitikan di Indonesia, segala sesuatu yang menjadi kebijakan para stakeholder dalam segala tingkat pemerintahan baik daam sekala eksekutif, legislatif dan yudikatif peran perempuan minim sekali.


Ketokohan perempuan Nusantara dengan kuota 30% baru terjadi setelah reformasi lahir dengan meninggalkan sistem orde baru yang otoriter, meskipun pada prakteknya ketentuan ini manjdi hambatan tersendiri bagi setiap pemangku kebijakan di semua lini.

Keterwakilan perempuan ini harus terus dibangkitkan disenua lini terutama dalam parlemen Indonesia, karena mengingat banyaknya suara perempuan yang harus diperjuangkan dalam segala sisi kehidupannya, saking krusialnya hal ini Femmy Eka Kartika Putri dalam https://www.kemenkopmk.go.id/partisipasi-politik-perempuan-di-indonesia-penting-bagi-kemajuan-bangsa mengatakan pentingnya keterwakilan perempuan di parlemen Indonesia.

“Saat ini partisipasi perempuan Indonesia masih di bawah 30%. Pentingnya peningkatan partisipasi perempuan supaya pengambilan keputusan politik yang lebih akomodatif dan substansial. Selain itu, menguatkan demokrasi yang senantiasa memberikan gagasan terkait perundang-undangan pro perempuan dan anak di ruang publik,” ujarnya saat membuka Rapat Koordinasi Mendorong Penyelesaian Rancangan Perpres tentang Grand Design Peningkatan Keterwakilan Perempuan di Lembaga Legislatif, Rabu (14/4).

Dalam sebuah organisasi atau institusi publik, dominasi kaum laki-laki sebagai pemimpin memang masih begitu kuat. Padahal kenyataannya, perempuanpun mempunyai potensi yang tidak kalah dengan laki-laki dalam hal memimpin. Kepemimpinan tidak mungkin bisa terlepas dari individu yang berperan sebagai pemimpin itu sendiri. Banyak yang menghubungkan antara kemampuan individu dalam memimpin dengan aspek biologis yang melekat pada diri sang pemimpin tersebut, yaitu berdasarkan pada perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan.

Realita yang ada hingga hari ini menempatkan bahwa perempuan Indonesia mengalami ketimpangan sosial dan budaya. Di berbagai penjuru Nusantara, banyak perempuan yang buta atau bahkan justru dibutakan secara struktural akan potensi diri yang dimilikinya sehingga hanya menjalankan peran sekunder dalam masyarakat. Hal ini patut disayangkan, karena secara demografi jumlah perempuan di Indonesia tidak jauh berbeda.

Dari total 273 juta jiwa penduduk, penduduk Laki-laki: 138.303.472 jiwa atau 50,5% dan penduduk perempuan: 135.576.278 jiwa atau 49,5% (Badan Pusat Statistik (BPS)). Padahal, jika perempuan mendapat kesempatan dan peran yang seimbang dengan laki-laki, maka potensi sumber daya manusia di Indonesia menjadi jauh lebih besar, dan hal tersebut akan menguntungkan dan memberi manfaat bagi pembangunan bangsa.

Pada tahun 2019, jumlah Anggota DPR RI perempuan menghasilkan peningkatan presentasi dari periode sebelumnya, walaupun presentasi peningkatan ini belum juga mencapai kuota minimal keterwakilan 30% Perempuan. Presentasi keterwakilan Anggota Perempuan pada tahun 2019 mencapai 20,87%, meningkat dibandingkan dari tahun 2004, 2009, dan 2014 lalu.
Belum tercapainya presentasi 30% keterwakilan perempuan ini tentu disebabkan oleh berbagai macam faktor.

Beberapa studi menunjukan kegagalan perempuan menjadi anggota legislatif dikarenakan adanya sistem budaya politik dan sistem rekrutmen oleh partai yang belum menunjukkan keberpihakan kepada calon anggota DPR RI perempuan, dan sistem pemilu proporsional terbuka yang melemahkan calon perempuan ketika akan berjuang mendulang suara (Syahputri, 2014, Purwanti, 2015, Ibrahim, Hasnani & Nanning, 1019).

Edukasi bagi perempuan dan memastikan lompatan-lompatan besar juga perlu dalam agenda juang perempuan. Kantong literasi kepemiluan yang menyasar perempuan, anak lansia, kelompok adat dan lainnya pemilu yang bersifat inklusif, memaksimalkan gerakan perempuan ada dalam kanal informasi publik. Perempuan mampu hadir, terlibat dan capaian tertentu itu berdampak pada publik dan perempuan secara akumulatif.

Edukasi mendorong keterlibatan sebanyak-banyaknya perempuan, informan, dan pelapor soal peran menyampikan dan melaporkan dugaan pelangggaran pemilu. Kolaborasi yang penting untuk memastikan seluruh peran memiliki daya guna dan manfaat. Memastikan keterlibatanya menjadi kualitas, kolaborasi gerakan perempuan memilih perempuan, laki dan perempuan saatnya memilih perempuan, perempuan maju dan memimpin “dia” akan membawa manfaat.

Kondisi dimana belum maksimalnya keterlibatan perempuan bisa kita telik pada akses kepada elit partai dan perempuan sebagai pengurus harian partai masih sedikit, strategis dan kewenanganya besar atas keputusan politik yang berdampak pada halayak. Masih banyak PR bagi kesetaraan perempuan, potensi perempuan tidak bisa di pandang sebelah mata, akses menjadikan perempuan ikut dalam partisipasi, kontrol dan terlibat bagi perempuan, dampak pembangunan yang manfaat bagi perempuan. Ketidaksetaraan bagi perempuan perlu memberikan kesempatan, pendapat dan memberikan posisi strategis bagi perempuan.

Penulis: Aini Nuriyati
Penggerak Perempuan Pesisir Banyuwangi
×
Berita Terbaru Update