Notification

×

Iklan

Iklan

Bu Marni yang Malang

Selasa, Agustus 08, 2023 | Agustus 08, 2023 WIB Last Updated 2023-08-08T03:12:20Z

 

Bu Marni duduk sendirian di teras Musala

Sebelum adzan Maghrib berkumandang, Ia sudah duduk di teras Musala lengkap dengan mukena lusuh yang biasa Ia kenakan setiap hari, duduk menyandarkan punggungnya ke tembok, Ia hanya duduk sambil menunduk, memainkan dua jempolnya. Di usianya yang sudah tidak lagi muda, ketika berjalan pun, kakinya sepertinya sudah tidak sanggup lagi untuk melangkah, Ia berjalan sambil membungkuk dibantu oleh tongkat kayu, tidak ada seorang pun yang membantunya, sekedar menuntunnya ketika berjalan atau bahkan membawanya ke dokter saat sedang sakit, semua beban hidupnya Ia pikul sendiri di pundaknya, Ia rasakan sendiri kemalangan hari tuanya.


Orang-orang biasa memanggilnya Bu Marni, Ia mempunyai dua saudara, adiknya tinggal di Probolinggo dan kakaknya di Curahlele. Sepeninggal suaminya, Bu Marni diajak kakaknya untuk pindah ke Curahlele sebab Ia dulu ikut suaminya. Di Curahlele, Ia bangun rumah tepat di belakang rumah kakaknya dari hasil menjual sepetak sawah, konon katanya, Ia ditinggali 2 petak sawah oleh almarhum suaminya. Setelah pindah ke Curahlele, rupanya bukan justru menjadi surga dan kian tentram hidupnya sebab Ia sering bertengkar dengan kakaknya.

Mungkin karena jenuh, Bu Marni sering berjalan tanpa tujuan, hingga akhirnya Ia bertemu dengan Abdul Halem, orang-orang memanggilnya Lem. Olehnya Bu Marni kena buju rayu, hingga akhirnya bangun rumah kecil di samping rumah Lem, tanahnya menyewa, itu dari sisa menjual sepetak tanahnya. Di sana, semua harta Bu Marni dikuras habis, sepetak sawah sisanya dijual untuk usaha anak Lem dan usahanya tidak jelas, bahkan emas sebagai harta terakhirnya pun ludes terjual.

Setelah semua hartanya habis tanpa sisa, Ia sering bertengkar dengan keluarga Lem, sehingga Bu Marni memilih kembali ke rumah yang Ia bangun, di belakang rumah kakaknya. Sayangnya, si kakak mungkin jengkel melihat polah adiknya, keduanya sering cekcok adu mulut. Namun, Bu Marni tidak bisa berbuat apa-apa dan pergi ke mana-mana lagi, sebab semua hartanya sudah ludes, sawah hingga rumah suaminya sudah tidak ada, Ia tidak bisa lagi pulang ke sana, keluarga pihak suami pun enggan menampungnya karena sudah tidak memiliki apa-apa.

Sekarang, Bu Marni menikmati sisa hidup dengan kemalangan, untuk makan Ia mencari sisa-sisa panen (Ngasak). Kadang, dapat pemberian tetangga, dari Pemerintah Desa Bu Marni mendapatkan BLT. Pernah saya ngobrol dengannya, katanya tiap hari hanya makan dengan nasi tanpa lau pauk. Rumahnya pun gelap gulita karena listriknya diputus oleh kakaknya, Ia tinggal sendirian hanya berteman dengan kesunyian. Setiap malam, setelah salat Isya' Ia tidak langsung pulang, masih duduk menyendiri di Musala menghadap ke jalan. Mungkin, merenungi nasibnya yang malang.

Penulis: Robith Fahmi
Petani Pepaya
×
Berita Terbaru Update